Setelah Nabi Muhammad saw wafat, prinsip musyawarah dalam pemilihan kepala negara telah berjalan dengan baik. Hal ini karena kaum Muslimin sudah terbiasa menerapkan prinsip ukhuwah Islamiyah, berupaya mengedepankan kesepakatan bersama (musawah) dan menerapkan hasil musyawarah dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang telah berjalan sejak era kenabian. Sebab itu di era khulafaur rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) mekanisme musyawarah beragam dan mengalami perkembangan sesuai tantangan yang ada saat itu. Perdebatan yang terjadi di dalamnya merupakan hal yang biasa. Namun pada akhirnya para musyawirin dapat mengatasi setiap perbedaan secara baik dan bijak.
Khamami Zada mengutip Ibnu Katsir
dalam Al-Bidayah wa Al-Nihayah mengungkapkan bahwa terpilihnya Abu Bakar
sebagai khalifah melalui pemilihan dan di dalamnya terdapat proses-proses yang
terbuka. Proses tersebut dimulai dengan perdebatan sengit antara kaum Anshar
dan Muhajirin. Namun akhirnya secara aklamasi terpilihlah Abu Bakar. Hal ini
merupakan praktik musyawarah mufakat. Abu Bakar saat itu mendapat gelar
Khalifatur Rasul (pengganti Rasulullah).
Dalam sistem pemerintahan modern,
seperti contoh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), musyawarah yang
disepakati dalam memilih pemimpin ialah melalui mekanisme pemilihan umum
(pemilu) secara langsung. Sebelumnya, Indonesia mengangkat pemimpin atau presiden
melalui proses di Majelis Permusyawaratan Rakyat. Muhammad Quraish Shihab dalam
Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000)
menjelaskan, kata musyawarah terambil dari akar kata sya, wa, ra, yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat).
Musyawarah dapat juga berarti
mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya. Madu bukan
saja manis, melainkan juga obat untuk banyak penyakit, sekaligus sumber kesehatan
dan kekuatan. Itu sebabnya madu dicari di mana pun dan oleh siapa pun.
Jika demikian, yang bermusyawarah
mesti bagaikan lebah: makhluk yang sangat berdisiplin, kerja samanya
mengagumkan, makanannya sari kembang, dan hasilnya madu. Di mana pun hinggap,
lebah tak pernah merusak. Ia takkan mengganggu kecuali diganggu. Bahkan sengatannya
pun dapat menjadi obat. Seperti itulah makna permusyawarahan, dan demikian pula
sifat yang melakukannya. Tak heran jika Nabi Muhammad menyamakan seorang mukmin
dengan lebah. Tentang prinsip musyawarah, Al-Qur’an mengajarkan,
“Maka disebabkan rahmat dari
Allahlah, engkau bersikap lemah lembut terhadap mereka. Seandainya engkau
bersikap kasar dan berhati keras, niscaya mereka akan menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan (tertentu). Kemudian apabila engkau
telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran [3]: 156)
ayat ini dari segi redaksional
ditujukan kepada Nabi Muhammad agar memusyawarahkan persoalan-persoalan
tertentu dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi ayat ini juga
merupakan petunjuk kepada setiap Muslim, khususnya kepada setiap pemimpin, agar
bermusyawarah dengan anggota-anggotanya.
Dari ayat Surat Ali Imran di atas
bisa digarisbawahi tentang lemah lembut, bersikap kasar dan berhati keras serta
saling memaafkan. Hal itu merupakan poin-poin penting dalam bermusyawarah,
termasuk dalam memilih pemimpin dalam proses pemilihan umum seperti di
Indonesia. Hendaknya sikap lemah lembut, tidak kasar dan tidak keras hati serta
saling memaafkan menjadi fondasi kokoh dalam mempererat tali persaudaraan warga
sebangsa dan setanah air. Setiap pemilihan pemimpin memang kerap terjadi
polarisasi konflik di tengah masyarakat yang cukup memeras urat. Apalagi saat
ini ruang perdebatan disajikan secara luas di media sosial.
Gambaran kasar dan keras hati dapat
ditemukan dengan mudah lewat percakapan di media sosial terkait pemilihan
pemimpin. Sebab itu, dalam ruang yang cukup luas dan bebas di media sosial,
masyarakat wajib memegang prinsip-prinsip musyawarah yang diajarkan Al-Qur’an
sehingga pengetahuan dan wawasannya juga luas. Tidak mudah terpengaruh dan
termakan informasi-informasi bohong yang berpotensi memecah belah umat. Adapun
pemimpin yang terpilih, dialah pemimpin seluruh warga negara, bukan lagi
pemimpin dari golongan tertentu
