Syarat-syarat Melakukan Ijtihad
Semua aspek kehidupan manusia tidak lepas dari tujuh hukum fikih, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, haram, sah dan batal yang sudah ditetapkan Allah melalui al Quran dan Hadits Rasulullah. Namun apabila suatu masalah tidak dijelakan hukumnya secara jelas dalam al Quran ataupun hadits, maka harus dilakukan ijtihad untuk merumuskan hukumnya.
Ijtihad untuk menggali hukum fikih dari al Quran dan Hadits adalah sebuah akktifitas ilmiah yang hanya boleh dilakukan oleh ahlinya yang disebut dengan Mujtahid Mutlak. Orang yang bukan ahlinya tidak diperbolehkan menggali hukum langsung dari al Quran dan hadits, agar tidak terjadi kesalahpahaman menafsirkannya tanpa ilmu yang benar.
Berikut adalah syarat-syarat Mujtahid ini tidaklah mudah, karena harus memenuhi syarat-syaratnya.
1. Menguasai
bahasa Arab
Bahasa arab adalah kunci memahami Islam, karena
Al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab. Sehingga tidak mungkin orang akan
memahami Al-Qur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab dengan sempurna meliputi nahwu, shorof, lughoh dan balaghohnya.
Orang yang sekedar bisa bahasa arab tidak dijamin bisa memahami al Quran dan hadits
dengan sempurna, apalagi oranag yang hanya modal terjemah saja.
2. Menguasai
dan memahami Al-Qur’an
Al Quran adalah salah satu dari dua sumber
hukum primer Islam. Pemahaman al Quran yang sempurna sangat dibutuhkan dalam merumuskan hukum fikih. Memahami al Quran di sini meliputi semua
aspeknya. Mulai dari ayat yang umum, ayat yang khusus, ayat jelas, ayat yang
samar, nasikh, mansukh, sebab-sebab turunnya al Quran, balaghohnya al Quran dan
semua metode panafsirannya.
Pemahaman al Quran yang mendalam sangat
dibutuhkan agar tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru. Semisal dalam al Quran terdapat ayat yang sekilas menyatakan bahwa manusia
hanya akan memperoleh ganjaran dari ama yang dia amalkan saja, sehingga orang
yang sudah meninggal tidak bisa menerima pahala amal orang lain yang dikirmkan
padanya. Yaitu di surat An Najm ayat 39
وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِنْسنِ
اِلاَّ مَا سَعَى
Artinya: Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa
yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 39)
Di sisi lain dalam surat al Hasyr ayat 10 justru menganjurkan kita untuk
mendoakan orang yang sudah meninggal. Pastinya menurut ayat ini doa kita dan
amal yang kita lakukan bisa ditujukan untuk orang yang sudah meninggal
اَلَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ
بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَاالَّذِيْنَ
سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمنِ
Artinya: “Orang-orang yang datang setelah mereka
berkata, yaa Allah ampunilah kami dan saudara kami yang telah mendahului kami
dnegan beriman.” (Al-Hasyr: 10)
Nah, ilmu-ilmu al Quran yang sudah disebutkan di depan sangat dibutuhkan
untuk memahami hal-hal semacam ini.
3. Menguasai
Hadits Rasulullah SAW
Hadits adalah segala hal (ucapan,
perbuatand an ketetapan) yang disandarkan pada Rasulullah SAW. Hadits bersama
al Quran adalah dua sumber hukum primer agama Islam, untuk itu dibutuhkan
pengetahuan hadits yang sangat mendalam, baik dalam ilmu hadits riwayat maupun
dalam ilmu hadits diroyat. Kedudukan hadits sebagai
dasar hukum islam disebut dalam firman Allah
وَمَاءَ اتَكُمُ الرَّسُوْلَ
فَخُذُوْهُ وَمَانَهَكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْا وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ الله
شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
Artinya: “Dan apa yang Rasul berikan kepadamu hendaklah kamu ambil, dan apa
yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah,
sesungguhnya Allah keras siksa-Nya.” (Al-Hasyr: 7)
Mengapa harus menguasai hadits? Karena saat
ayat-ayat al Quran diturnkan Nabi Muhammad adalah Rasulullah SAW, sehingga hadits adalah sumber pertama dalam memahami al Quran.
4. Mengetahui
Ijma’
Ijma` adalah konsensus atau kesepakatan
Ulama` pada hukum tertentu. Ijma` menempati posisi ketiga sebagai dasar hukum Islam setelah al Quran dan al Hadits. Dasar
Ijma`sebagai dasar hukum Islam adalah surat An Nisa ayat 115
وَمَن
يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِن بَعدِ مَا تَبَيَّنَ
لَهُ ٱلهُدَىٰ وَيَتَّبِع غَيرَ سَبِيلِ
ٱلمُؤمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَت مَصِيرًا
Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan
ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia
ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS.
An-Nisa: 115)
Ayat di atas menegaskan, bahwa orang yang
tidak mengikuti jalan orang-orang Mukmin, akan mendapat ancaman neraka
Jahannam. Atas dasar inilah, orang yang tidak setia pada konsensus para ulama (ijma’), berarti masuk dalam ancaman itu. (lihat keteranan Abdul Wahab
Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh, hal. 47)
Mengapa harus mengetahui ijma`? agar hukum yangbaru
disimpulkan tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat dan
ulama`salaf. Karena mereka adalah generasi terdahulu yang lebih memahami tentang
syareat Islam.
5. Menguasai
ilmu Ushuluddin
Iya, Anda benar. Salah satu syarat utama
untuk seseorang dapat melakukan ijtihad adalah menguasai ilmu Ushuluddin. Ilmu
Ushuluddin, atau juga dikenal sebagai Ilmu Kalam, merupakan disiplin ilmu Islam
yang mempelajari dasar-dasar keyakinan dan prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam
konteks ijtihad, pemahaman mendalam terhadap Ushuluddin menjadi penting karena
ijtihad melibatkan penalaran dan interpretasi hukum berdasarkan prinsip-prinsip
ajaran Islam.
Ilmu Ushuluddin melibatkan kajian terhadap
konsep-konsep dasar, seperti tauhid, nubuwwah, ma'ad (kehidupan setelah mati), adilah (keadilan Allah), dan asma wa sifat (nama dan sifat
Allah). Selain itu, Ushuluddin juga mempelajari prinsip-prinsip penafsiran
Al-Qur'an dan Hadis, serta metodologi dalam menetapkan hukum-hukum syariah.
Dengan menguasai ilmu Ushuluddin, seorang
mujtahid (orang yang berkompeten dalam ijtihad) dapat memahami dengan baik
dasar-dasar ajaran Islam dan dapat melakukan ijtihad secara sahih dan
konsisten. Oleh karena itu, penguasaan ilmu Ushuluddin menjadi prasyarat
penting dalam menjalankan tugas ijtihad.
6. Menguasai
ilmu Mantiq (logika)
Pada umumnya, syarat ijtihad tidak selalu
mencakup kewajiban untuk menguasai ilmu mantik (logika). Syarat-syarat ijtihad
lebih terfokus pada pemahaman mendalam terhadap ilmu-ilmu Islam, seperti ilmu Ushuluddin (Ilmu Kalam), Fiqih (hukum Islam), dan Bahasa Arab
(karena sumber-sumber utama Islam, seperti Al-Qur'an dan Hadis, ditulis dalam
Bahasa Arab).
Meskipun ilmu mantik tidak menjadi syarat
langsung untuk ijtihad, beberapa sarjana Islam menganggap bahwa pemahaman logika dapat menjadi nilai tambah dalam proses ijtihad.
Logika dapat membantu seseorang merancang argumen yang konsisten dan mendukung,
sehingga memperkuat proses penalaran dalam mengeluarkan hukum-hukum syariah.
Namun, perlu diingat bahwa pandangan ini
mungkin berbeda-beda di antara mazhab-mazhab hukum Islam atau ulama-ulama
tertentu. Beberapa ulama menganggap logika sebagai alat bantu yang bermanfaat, sementara yang lain mungkin menekankan pada penguasaan ilmu-ilmu
tradisional Islam.
Dengan demikian, meskipun ilmu mantik dapat
memberikan keuntungan dalam ijtihad, tidak dapat dianggap sebagai syarat
mutlak. Penguasaan ilmu-ilmu tradisional Islam yang lebih spesifik, terutama Ushuluddin dan Fiqih, masih dianggap sebagai syarat utama dalam
menjalankan ijtihad.
7. Menguasai cabang-cabang
fikih
Cabang-cabang fikih atau fikih furu` adalah
rangkaian hukum fikih yang telah dirumuskan oleh seorang Mujtahid. fikih furu' adalah bagian dari ilmu fikih yang membahas hukum-hukum
praktis dalam Islam. Hukum-hukum ini telah dirumuskan oleh seorang mujtahid
(ahli fikih yang mampu melakukan ijtihad) berdasarkan prinsip-prinsip utama
yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh (usul fikih). Fikih furu' mencakup berbagai
aspek kehidupan sehari-hari.
8. Memiliki
sifat adil dan taqwa
Sifat adil (al-'adalah) dan taqwa
(al-taqwa) merupakan dua syarat penting dalam melakukan ijtihad. Mari bahas
keduanya secara singkat:
§ Sifat Adil
(al-'Adalah)
Dalam konteks ijtihad, sifat adil mengacu
pada keadilan dan kejujuran seorang mujtahid dalam menjalankan tugas
ijtihadnya. Adil berarti bahwa seorang mujtahid harus bersikap adil dan
objektif tanpa adanya bias atau preferensi terhadap suatu pihak. Keadilan ini
mencakup penilaian yang objektif terhadap berbagai bukti dan dalil hukum.
§ Taqwa
(al-Taqwa)
Taqwa merujuk pada ketakwaan dan ketaatan
seseorang kepada Allah. Dalam konteks ijtihad, taqwa mengharuskan mujtahid
untuk menjalankan tugas ijtihadnya dengan niat yang tulus dan bertanggung jawab
kepada Allah. Ketaatan dan kesalehan kepada norma-norma agama menjadi landasan
utama dalam proses pengambilan keputusan.
Kombinasi antara adil dan taqwa dalam
seorang mujtahid memastikan bahwa proses ijtihad dilakukan dengan integritas moral dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam. Kedua sifat ini
membantu menjaga keabsahan dan keakuratan hasil ijtihad, serta memastikan bahwa
penilaian hukum yang dihasilkan sesuai dengan ajaran Islam dan nilai-nilai
keadilan.
