Ebook Islami selengkapnya Playstore

Mengapa tidak Ijtihad?

 

Syarat-syarat Melakukan Ijtihad

Semua aspek kehidupan manusia tidak lepas dari tujuh hukum fikih, yaitu wajib, sunah, mubah, makruh, haram, sah dan batal yang sudah ditetapkan Allah melalui al Quran dan Hadits Rasulullah. Namun apabila suatu masalah tidak dijelakan hukumnya secara jelas dalam al Quran ataupun hadits, maka harus dilakukan ijtihad untuk merumuskan hukumnya.


Ijtihad untuk menggali hukum fikih dari al Quran dan Hadits adalah sebuah akktifitas ilmiah yang hanya boleh dilakukan oleh ahlinya yang disebut dengan Mujtahid Mutlak. Orang yang bukan ahlinya tidak diperbolehkan menggali hukum langsung dari al Quran dan hadits, agar tidak terjadi kesalahpahaman menafsirkannya tanpa ilmu yang benar.

Berikut adalah syarat-syarat Mujtahid ini tidaklah mudah, karena harus memenuhi syarat-syaratnya.

1.      Menguasai bahasa Arab

Bahasa arab adalah kunci memahami Islam, karena Al-Qur’an dan Hadits menggunakan bahasa Arab. Sehingga tidak mungkin orang akan memahami Al-Qur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab dengan sempurna meliputi nahwu, shorof, lughoh dan balaghohnya. Orang yang sekedar bisa bahasa arab tidak dijamin bisa memahami al Quran dan hadits dengan sempurna, apalagi oranag yang hanya modal terjemah saja.

 

2.      Menguasai dan memahami Al-Qur’an

Al Quran adalah salah satu dari dua sumber hukum primer Islam. Pemahaman al Quran yang sempurna sangat dibutuhkan dalam merumuskan hukum fikih. Memahami al Quran di sini meliputi semua aspeknya. Mulai dari ayat yang umum, ayat yang khusus, ayat jelas, ayat yang samar, nasikh, mansukh, sebab-sebab turunnya al Quran, balaghohnya al Quran dan semua metode panafsirannya.

Pemahaman al Quran yang mendalam sangat dibutuhkan agar tidak terjebak dalam pemahaman yang keliru. Semisal dalam al Quran terdapat ayat yang sekilas menyatakan bahwa manusia hanya akan memperoleh ganjaran dari ama yang dia amalkan saja, sehingga orang yang sudah meninggal tidak bisa menerima pahala amal orang lain yang dikirmkan padanya. Yaitu di surat An Najm ayat 39

 وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى

Artinya: Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah ia kerjakan.” (An-Najm: 39)

Di sisi lain dalam surat al Hasyr ayat 10 justru menganjurkan kita untuk mendoakan orang yang sudah meninggal. Pastinya menurut ayat ini doa kita dan amal yang kita lakukan bisa ditujukan untuk orang yang sudah meninggal

 اَلَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْلَنَا وَلاِخْوَانِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمنِ

Artinya: “Orang-orang yang datang setelah mereka berkata, yaa Allah ampunilah kami dan saudara kami yang telah mendahului kami dnegan beriman.” (Al-Hasyr: 10)

Nah, ilmu-ilmu al Quran yang sudah disebutkan di depan sangat dibutuhkan untuk memahami hal-hal semacam ini.

 

3.      Menguasai Hadits Rasulullah SAW

Hadits adalah segala hal (ucapan, perbuatand an ketetapan) yang disandarkan pada Rasulullah SAW. Hadits bersama al Quran adalah dua sumber hukum primer agama Islam, untuk itu dibutuhkan pengetahuan hadits yang sangat mendalam, baik dalam ilmu hadits riwayat maupun dalam ilmu hadits diroyat. Kedudukan hadits sebagai dasar hukum islam disebut dalam firman Allah

 وَمَاءَ اتَكُمُ الرَّسُوْلَ فَخُذُوْهُ وَمَانَهَكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْا وَاتَّقُوْااللهَ اِنَّ الله شَدِيْدُ اْلعِقَابِ

Artinya: “Dan apa yang Rasul berikan kepadamu hendaklah kamu ambil, dan apa yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksa-Nya.” (Al-Hasyr: 7)

Mengapa harus menguasai hadits? Karena saat ayat-ayat al Quran diturnkan Nabi Muhammad adalah Rasulullah SAW, sehingga hadits adalah sumber pertama dalam memahami al Quran.

 

4.      Mengetahui Ijma’

Ijma` adalah konsensus atau kesepakatan Ulama` pada hukum tertentu. Ijma` menempati posisi ketiga sebagai dasar hukum Islam setelah al Quran dan al Hadits. Dasar Ijma`sebagai dasar hukum Islam adalah surat An Nisa ayat 115

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِن بَعدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلهُدَىٰ وَيَتَّبِع غَيرَ سَبِيلِ ٱلمُؤمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَت مَصِيرًا

Artinya, “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115)

Ayat di atas menegaskan, bahwa orang yang tidak mengikuti jalan orang-orang Mukmin, akan mendapat ancaman neraka Jahannam. Atas dasar inilah, orang yang tidak setia pada konsensus para ulama (ijma’), berarti masuk dalam ancaman itu. (lihat keteranan Abdul Wahab Khallaf dalam kitab Ilmu Ushul Fiqh, hal. 47)

Mengapa harus mengetahui ijma`? agar hukum yangbaru disimpulkan tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat dan ulama`salaf. Karena mereka adalah generasi terdahulu yang lebih memahami tentang syareat Islam.

 

5.      Menguasai ilmu Ushuluddin

Iya, Anda benar. Salah satu syarat utama untuk seseorang dapat melakukan ijtihad adalah menguasai ilmu Ushuluddin. Ilmu Ushuluddin, atau juga dikenal sebagai Ilmu Kalam, merupakan disiplin ilmu Islam yang mempelajari dasar-dasar keyakinan dan prinsip-prinsip hukum Islam. Dalam konteks ijtihad, pemahaman mendalam terhadap Ushuluddin menjadi penting karena ijtihad melibatkan penalaran dan interpretasi hukum berdasarkan prinsip-prinsip ajaran Islam.

Ilmu Ushuluddin melibatkan kajian terhadap konsep-konsep dasar, seperti tauhid, nubuwwah, ma'ad (kehidupan setelah mati), adilah (keadilan Allah), dan asma wa sifat (nama dan sifat Allah). Selain itu, Ushuluddin juga mempelajari prinsip-prinsip penafsiran Al-Qur'an dan Hadis, serta metodologi dalam menetapkan hukum-hukum syariah.

Dengan menguasai ilmu Ushuluddin, seorang mujtahid (orang yang berkompeten dalam ijtihad) dapat memahami dengan baik dasar-dasar ajaran Islam dan dapat melakukan ijtihad secara sahih dan konsisten. Oleh karena itu, penguasaan ilmu Ushuluddin menjadi prasyarat penting dalam menjalankan tugas ijtihad.

 

6.      Menguasai ilmu Mantiq (logika)

Pada umumnya, syarat ijtihad tidak selalu mencakup kewajiban untuk menguasai ilmu mantik (logika). Syarat-syarat ijtihad lebih terfokus pada pemahaman mendalam terhadap ilmu-ilmu Islam, seperti ilmu Ushuluddin (Ilmu Kalam), Fiqih (hukum Islam), dan Bahasa Arab (karena sumber-sumber utama Islam, seperti Al-Qur'an dan Hadis, ditulis dalam Bahasa Arab).

Meskipun ilmu mantik tidak menjadi syarat langsung untuk ijtihad, beberapa sarjana Islam menganggap bahwa pemahaman logika dapat menjadi nilai tambah dalam proses ijtihad. Logika dapat membantu seseorang merancang argumen yang konsisten dan mendukung, sehingga memperkuat proses penalaran dalam mengeluarkan hukum-hukum syariah.

Namun, perlu diingat bahwa pandangan ini mungkin berbeda-beda di antara mazhab-mazhab hukum Islam atau ulama-ulama tertentu. Beberapa ulama menganggap logika sebagai alat bantu yang bermanfaat, sementara yang lain mungkin menekankan pada penguasaan ilmu-ilmu tradisional Islam.

Dengan demikian, meskipun ilmu mantik dapat memberikan keuntungan dalam ijtihad, tidak dapat dianggap sebagai syarat mutlak. Penguasaan ilmu-ilmu tradisional Islam yang lebih spesifik, terutama Ushuluddin dan Fiqih, masih dianggap sebagai syarat utama dalam menjalankan ijtihad.

 

7.      Menguasai cabang-cabang fikih

Cabang-cabang fikih atau fikih furu` adalah rangkaian hukum fikih yang telah dirumuskan oleh seorang Mujtahid. fikih furu' adalah bagian dari ilmu fikih yang membahas hukum-hukum praktis dalam Islam. Hukum-hukum ini telah dirumuskan oleh seorang mujtahid (ahli fikih yang mampu melakukan ijtihad) berdasarkan prinsip-prinsip utama yang terdapat dalam ilmu ushul fiqh (usul fikih). Fikih furu' mencakup berbagai aspek kehidupan sehari-hari.

 

8.      Memiliki sifat adil dan taqwa

Sifat adil (al-'adalah) dan taqwa (al-taqwa) merupakan dua syarat penting dalam melakukan ijtihad. Mari bahas keduanya secara singkat:

§  Sifat Adil (al-'Adalah)

Dalam konteks ijtihad, sifat adil mengacu pada keadilan dan kejujuran seorang mujtahid dalam menjalankan tugas ijtihadnya. Adil berarti bahwa seorang mujtahid harus bersikap adil dan objektif tanpa adanya bias atau preferensi terhadap suatu pihak. Keadilan ini mencakup penilaian yang objektif terhadap berbagai bukti dan dalil hukum.

§  Taqwa (al-Taqwa)

Taqwa merujuk pada ketakwaan dan ketaatan seseorang kepada Allah. Dalam konteks ijtihad, taqwa mengharuskan mujtahid untuk menjalankan tugas ijtihadnya dengan niat yang tulus dan bertanggung jawab kepada Allah. Ketaatan dan kesalehan kepada norma-norma agama menjadi landasan utama dalam proses pengambilan keputusan.

Kombinasi antara adil dan taqwa dalam seorang mujtahid memastikan bahwa proses ijtihad dilakukan dengan integritas moral dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip Islam. Kedua sifat ini membantu menjaga keabsahan dan keakuratan hasil ijtihad, serta memastikan bahwa penilaian hukum yang dihasilkan sesuai dengan ajaran Islam dan nilai-nilai keadilan.

 


Posting Komentar

Cookie Consent
We serve cookies on this site to analyze traffic, remember your preferences, and optimize your experience.
Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.
Site is Blocked
Sorry! This site is not available in your country.